Psikoanalisis Freud dan Erikson

Standard

Pandangan Freud terhadap psikologi khususnya berkenaan dengan kepribadian manusia lebih didasarkan pada ketidaksadaran dibandingkan dengan keadaan sadar atau unsur-unsur kesadaran seperti para psikolog di abad ke-XIX. Freud menganggap bahwa kesadaran hanya merupakan sebagian kecil saja dari pada seluruh kehidupan psikis. Freud memisalkan psiche itu sebagai gunung es di tengah lautan, yang ada diatas permukaan air laut itu menggambarkan kesadaran ‘conscious’, sedangkan di bawah permukaan air laut – yang merupakan bagian terbesar- menggambarkan ketidaksadaran ‘unconscious’. Dalam ketidaksadaran itulah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong pribadi (Suryabrata, 2002).

Freud juga menganggap kepribadian sebagai produk dari masa kanak-kanak manusia. Dalam aspek-aspek perkembangan kepribadian, Freud menekankan peranan yang menentukan dari tahun-tahun awal masa bayi dan kanak-kanak dalam meletakkan struktur watak dasar sang pribadi. Bagi Freud, kepribadian itu telah cukup terbentuk pada akhir tahun kelima, dan bahwa perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penggabungan terhadap struktur dasar itu (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

A. Struktur Kepribadian
Freud (dalam Hall and Lindzey, 1993) membagi struktur kepribadian kedalam tiga sistem pokok, yakni : id, ego, dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme, dan mekanismenya sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit (tingkah laku hampir merupakan dak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya dan menilai sumbangan relatifnya terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku hampir selalu merupakan produk dari interaksi diantara ketiga sistem tersebut; jarang salah satu sistem berjalan terlepas dari kedua sistem lainnya.

1. Id (The Id atau Das Es) disebut juga oleh Freud sebagai System der Unbewussten, merupakan sistem kepribadian yang asli dalam kepribadian (Freud dalam Suryabrata, 2002). Id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar dan merupakan kawasan dimana Eros dan Thanatos berkuasa. Disitu terdapat naluri bawaan, yakni seksual dan agresif, serta keinginan yang direpresi (Freud dalam Bertens, 2006). Id juga merupakan rahim tempat ego dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting. Id merupakan reservoir energi psikis dan menyediakan seluruh daya untuk menjalankan kedua sistem yang lain. Id berhubungan erat dengan proses-proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya. Freud juga menyebut id sebagai kenyataan psikis yang sebenarnya, karena id merepresentasikan dunia batin pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993). Id tidak bisa menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila tingkat tegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulasi dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam maka id akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan dan mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah dan konstan serta menyenangkan. Prinsip reduksi tegangan yang merupakan ciri kerja id ini disebut prinsip kenikmatan atau pleasure principle (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Untuk melaksanakan tugas menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki dua proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan refleks dan proses primer. Tindakan-tindakan refleks adalah reaksi-reaksi otomatatik dan bawaan seperti bersin dan berkedip, dan tindakan-tindakan refleks tersebut biasanya segera mereduksikan tegangan. Organisme dilengkapi dengan sejumlah refleks semacam itu untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan yang relatif sederhana. Sedangkan proses primer menyangkut suatu reaksi psikologis yang sedikit lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan membentuk khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan tegangan tersebut. Misalnya, proses primer menyediakan khayalan tentang makanan kepada orang yang lapar. Pengalaman halusinatorik dimana objek-objek yang diinginkan ini hadir dalam bentuk gambaran ingatan disebut pemenuhan hasrat (wish-fulfillment). Contoh proses primer yang paling baik pada orang normal ialah mimpi di malam hari, yang diyakini oleh Freud selalu mengungkapkan pemenuhan atau usaha pemenuhan suatu hasrat. Halusinasi dan penglihatan pasien psikotik atau angan-angan sangat di warnai oleh pengaruh proses primer ini.
Gambaran-gambaran mentah yang bersifat memenuhi hasrat ini merupakan satu-satunya kenyataan yang dikenal id (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Jelas, proses primer sendiri tidak akan mampu mereduksikan tegangan. Orang yang lapar misalnya, ia tidak dapat memakan khayalannya tentang makanan. Karena itu, suatu proses psikologis baru atau sekunder berkembang, dan apabila hal ini terjadi maka struktur sistem kedua kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

2. Ego (The Ego atau Das Ich) di sebut juga System der Beweussten-Vorbewussten. Aspek ini adalah aspek psikologis dari kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan objektif (Freud dalam Suryabrata, 2002). Menurut Freud (dalam Bertens, 2006), ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Aktifitas ego bersifat sadar, prasadar, maupun tak sadar, namun sebagaian besar ego bersifat sadar, seperti persepsi lahiriah, persepsi batin, dan proses-proses intelektual. Sedangkan dalam aktifitas prasadar seperti fungsi ingatan, dan aktifitas tentang tak sadar ego dijalankan dengan mekanisme-mekanisme pertahanan (defence mechanisms).

Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan atau prinsip realitas (Realitatsprinzip, atau The Reality Principle), dan bereaksi mengikuti prinsip sekunder (Sekundar Vorgang, atau Secondary Prosess). Tujuan prinsip kenyataan atau realitas adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Untuk sementara prinsip kenyatan atau realitas menunda prinsip kenikmatan, Meskipun prinsip kenikmatan akhirnya terpenuhi ketika objek yang dibutuhkan ditemukan dengan demikian tegangan direduksikan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993 dan Suryabrata, 2002).

Proses sekunder adalah berfikir realistik, dengan proses sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui suatu tindakan, untuk melihat apakah rencana itu berhaasil atau tidak. Orang yang lapar berfikir dimana ia dapat menemukan makanan dan kemudian ia pergi ketempat itu. Ini disebut dengan pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan peranannya secara efisien, ego mengontrol semua fungsi kognitif dan intelektual; proses-proses jiwa ini dipakai untuk melayani proses sekunder (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Ego disebut juga eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan-jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya, serta memilih objek-objek yang dapat memenuhi kebutuhan; didalam menjalankan fungsinya ini seringkali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego dan dunia luar. (Freud dalam Suryabrata, 2002).

Namun harus diingat, ego merupakan bagian id yang terorganisasi yang hadir untuk memajukan tujuan-tujuan id dan bukan untuk mengecewakannya, dan bahwa seluruh dayanya berasal dari id. Ego tidak terpisah dari is dan tidak pernah bebas sama sekali dari id. Peranan utamanya adalah menengahi kebutuhan-kebutuhan instingtif dari organisme dan kebutuhan-kebutuhan lingkungan sekitarnya, dimana tujuan-tujuannya yang sangat penting adalah mempertahankan kehidupan individu dan memperhatikan bahwa spesies dikembangbiakkan (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

3. Superego (The Superego atau Dus Ueber Ich) adalah aspek sosiologi kepribadian, yakni merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana diterangkan orangtua kepada anak-anaknya, dan dilaksanakan dengan cara perintah dan larangan dan dengan memberikannya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman (Freud dalam Suryabrata, 2002 dan Hall and Lindzey, 1993). Dengan kata lain, superego adalah buah hasil internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang asing bagi anak, akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari anak sendiri (Freud dalam Bertens, 2006). Superego adalah wewenang moral dari kepribadian, superego mencerminkan yang ideal dan bukan yang real, serta memperjuangkan kesempurnaan dan bukan kenikmatan. Perhatian yang utamanya adalah memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian superego dapat bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarkat (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Superego sebagai wasit tingkah laku yang diinternalisasikan bekembang dengan memberikan respon terhadap hadiah-hadiah dan hukuman-hukuman yang diberikan orangtua. Untuk memperoleh hadiah-hadiah dan menghindari hukuman-hukuman, anak belajar mengarahkan tingkah lakunya menurut garis-garis yang diletakkan orang tuanya. Apapun juga yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (Conscience), yang merupakan salah satu dari dua subsistem superego. Apapun juga yang meeka setujui dan menghadiahi anak karena melakukannya, akan cenderung menjadi ego-ideal anak, yang merupakan subsistem lain dari superego. Mekanisme yang menyebabkan penyatuan tersebut disebut introyeksi. Anak menerima atau mengintroyeksikan norma-norma moral dari orang tua. Suara hati menghukum orang dengan membuatnya merasa salah, ego-ideal menghadiahi orang dengan membuatnya merasa bangga. Dengan terbentuknya superego ini maka kontrol diri menggantikan kontrol orang tua (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Jadi, aktifitas dari superego menyatakan diri dalam konflik dengan ego yang dirasakan dengan emosi-emosi seperti rasa bersalah, rasa menyesal, dan lain sebagainya. Sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri, dan inhibisi berasal dari superego. Bahkan menurut Freud, kompleks oedipus memainkan peranan bsar dalam pembentukan superego (Freud dalam Bertens, 2006).

Fungsi-fungsi dari superego adalah; (1) merintangi impuls-impuls id, terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah impuls-impuls yang pernyataannya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2) mendorong ego untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan moralistis, (3) mengajarkan kesempurnaan. Jadi, superego cenderung untuk menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut gambrannya sendiri. Akan tetapi superego sama seperti id bersifat tidak rasional dan sama seperti ego, superego melaksanakan kontrol atas insting-insting. Tidak seperti ego, superego tidak hanya menunda pemuasan insting, akan tetapi superego tetap berusaha untuk merintanginya (Freud dalam Hall and Lindzey, 1993).

Mengakhiri deskripsi singkat tentang tiga sistem kepribadian ini, perlu diingat bahwa struktur kepribadian yakni id, ego, dan superego, bukanlah bagian-bagian yang menjalankan kepribadian, melainkan merupakan sebuah nama dari sistem struktur dan proses psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Biasanya system-sistem itu bekerja bersama sebagai team, dibawah arahan ego. Kepribadian biasanya berfungsi sebagai suatu kesatuan dan bukan sebagai tiga bagian yang terpisah. Secara sangat umum id bisa dipanang sebagai komponen biologis kepribadian, sedangkan ego sebagai komponen psikologis dan superego sebagai komponen sosialnya (Freud dalam Alwisol, 2008 dan Hall and Lindzey, 1993).

Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merumuskan teori tahap-tahap perkembangan kepribadian manusia sesuai siklus hidupnya. Erikson memperhatikan pemikiran psikoanalisa dari Sigmund Freud dan pendekatan antropologi budaya yang dikembangkan oleh Margaret Mead dan Franz Boas. Menurut Erikson anak-anak dalam setiap sistem budaya akan belajar nilai yang berbeda, tujuan yang berbeda, serta beragam pengasuhan.
Pengaruh ini membentuk bagaimana jiwa anak berkembang. Manusia berkembang berdasarkan siklus hidup yaitu sejak lahir sampai meninggal, melalui delapan tahapan yang berbeda antara lain :
1) Trust vs Mistrust
2) Autonomy vs shame and doubt
3) Initiative vs guilt
4) Industry vs inferiority
5) Identity vs role confusion
6) Intimacy vs isolation
7) Generativity vs stagnation

Nama : Lisa Octarini

Kelas : 2PA07

NPM : 10509984

Sumber : http://www.facebook.com/topic.php?uid=88279714984&topic=13168

http://aryania08.student.ipb.ac.id/2010/06/20/teori-psiko-analisis-erk-erikson/

Leave a comment